Indonesia Negeri Sufi, Banyak Kampus Tasawuf, Para Dosen dan Mahasiswa Wajib Berthariqah
Alhamdulillah Indonesia bisa dijuluki sebagai Negeri Sufi. Diantara buktinya banyak berdiri program studi Tasawuf dan Psikoterapi di berbagai perguruan tinggi Islam di Nusantara. Mulai dari UINSA, UIN Walisongo, IAIN Kediri, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Imam Bonjol Padang, UIN Raden Fatah Palembang, UIN K. H. Abdurrahman Wahid, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, INSTIKA, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, UIN Raden Intan Lampung, UIN Saizu, IAIN Pekalongan, STAI Al Mujtama Pamekasan, IAIN Kudus, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, UIN Antasari Banjarmasin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga Universitas Muhammadiyah Cirebon. Kesembilanbelas kampus ini membuka prodi tasawuf dan psikoterapi.
Fenomena ini sangat patut disyukuri. Hanya saja, muslim manapun bisa saja mengklaim sudah bertashawwuf dengan argumen keberhasilannya menikmati ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah bahkan merasa sudah wushul hanya karena sudah menekuni karya-karya akademis para mursyid thariqah. Apakah klaim tersebut dapat dibenarkan? Dr. K. H. M. Luqman Hakim ‘Cahaya Sufi’ pernah bertutur, “Orang yang bertashawwuf tapi tidak berthariqah, itu nol. Orang berthariqah, tapi tak bertashawwuf, juga nol.” [https://www.nu.or.id/wawancara/tasawuf-tanpa-thariqah-sama-dengan-nol-C4a6j]
Di era disrupsi sekarang ini, para akademisi ilmu tasawuf dapat saja merasa sudah bertashawwuf karena sudah mengikuti panduan-panduan mursyid melalui YouTube dan kitab-kitabnya. Apakah dibenarkan? Tentu keliru. Berthariqah hanya sah dengan berbai’at sebagaimana bermadzhab hanya sah dengan 'mendaftarkan diri' untuk mulazamah. Diterangkan dalam dari Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah (6-7) terbitan JATMAN,
فَاِنْ كَانَ الدُّخُوْلُ فِى الطَّرِيْقَةِ هُوَ التَّعَلُّمُ بِتَزْكِيَةِ النَّفْسِ عَنِ الرَّذَاءِلِ وَتَحْلِيَتِهَا بِالْمَحَامِدِ فَفَرْضُ عَيْنٍ. وَاِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ هُوَ الدُّخُوْلُ فِى الطَّرِيْقَةِ الْمُعْتَبَرَةِ المْخْصُوْصَةِ بِالذِّكْر واَلْاَوْرَادِ فَمِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Maka, jika (yang dikehendaki) masuk di dalam thariqat adalah belajar mensucikan qalbu dari akhlak-akhlak yang hina dan menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji maka hukumnya fardu/wajib ain. Namun, jika yang dikehendaki dengan masuk ini adalah masuk dalam thariqat mu’tabarah yang terkhusus dengan dzikir dan wirid-wirid, maka itu termasuk sunnah Rasulullah.
Narasi ini komprehensif menjawab kegamangan sebagian pelajar dan peneliti tashawwuf untuk masuk ke thariqah. Sementara ini stigma terhadap thariqah masih menggejala. Su`uzh-zhann yang dipelihara: thariqah hanya akal-akalan untuk membangun hegemoni dinasti meraup kocek umat. Padahal su`uzh-zhann semacam itu bisa ditembakkan ke segala hal. Pendakwah yang mendapat amplop sekalipun ikhlas bisa saja disu`uzh-zhanni sebagai penggadai agama. Ala kulli hal, thariqah menjadi kebutuhan dasar semua orang yang menekuni tashawwuf, persetan dengan framing negatif.
Dalam Ruh Al-Bayan (9/21) karya Ismail Al-Istanbuliyy dipaparkan,
الْمُبَايِعُوْنَ ثَلَاثَةٌ الرُّسُلُ وَالشُّيُوْخُ الْوَرَثَةُ وَالسَّلَاطِيْنُ وَالْمُبَايِعُ فِي هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ عَلَى الْحَقِيْقَةِ وَاحِدٌ وَهُوَ اللهُ تَعَالَى وَهَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ شُهُوْدُ اللهِ تَعَالَى عَلَى بَيْعَةِ هَؤُلَاءِ الْاَتْبَاعِ وَعَلَى هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ شُرُوْطٌ يَجْمَعُهَا الْقِيَامُ بِأَمْرِ اللهِ وَعَلَى الْاَتْبَاعِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْهُمْ شُرُوْطٌ يَجْمَعُهَا الْمُتَابَعَةُ فِيْمَا أُمِرُوْا بِهِ فَأَمَّا الرُّسُلُ وَالشُّيُوْخُ فَلَا يَأْمُرُوْنَ بِمَعْصِيَةٍ أَصْلًا فَاِنَّ الرُّسُلُ مَعْصُوْمُوْنَ مِنْ هَذَا وَالشُّيُوْخُ مَحْفُوْظُوْنَ وَأمَا السَّلَاطِيْنُ فَمَنْ لَحِقَ مِنْهُمْ بِالشُّيُوْخِ كَانْ مَحْفُوْظًا وَلا َكَانَ مَخْذُوْلًا وَمَعَ هَذَا فَلَا ُيُطَاعُ فِيْ مَعْصِيَةٍ وَالْبَيْعَةُ لَازِمَةٌ حَتَى يَلْقَوْا اللهَ تَعَالَى
“Orang-orang yang membaiat itu ada tiga, yaitu para rasul/utusan, para guru yang mewarisi (ilmu Rasul), dan para sultan, Yang membaiat dalam tiga orang ini pada hakikatnya adalah satu, yaitu Allah. Mereka bertiga adalah saksi-saksi Allah atas baiat para pengikut. Tiga orang saksi ini harus memenuhi syarat-syarat yang terkumpul dalam pekerjaan ‘menegakan perintah Allah’. Sementara para pengikut (yang berbaiat) harus memenuhi beberapa syarat yang terkumpul dalam pekerjaan ‘patuh pada apa yang diperintahkan’. Para utusan dan para guru tidak memerintahkan kemaksiatan sama sekali, karena para utusan merupakan orang-orang yang ma’shum di sini, sementara para guru adalah orang-orang yang terjaga. Para sultan merupakan orang yang sama dengan para guru yang terjaga dan tidak terhinakan. Atas dasar ini, tidak ada kepatuhan dalam maksiat. Baiat mengikat sampai para pengikut bertemu Allah.”
Dengan demikian, diharapkan sekaligus diserukan secara serius kepada seluruh civitas akademika program studi Tasawuf dan Psikoterapi di kampus mana saja untuk segera mencari institusi thariqah kemudian berbai’at kepada mursyid. Bai’at memastikan ketersambungan sanad ilmu tashawwuf. Bai’at melecut kita untuk komitmen mengamalkan ilmu tashawwuf dengan asistensi mursyid secara intens. Para dosen ilmu tashawwuf yang mengajar para mahasiswa wajib pula segera berbai’at salah satu thariqah agar bisa mentashihkan ilmu yang dipelajari, tidak sekadar berguru pada buku.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment