Habib Mushthofa Alaydrus Tuban Ungkap Solusi Lunas Utang dengan Birrul-Walidain Bersama Masyayikh JATMAN Jatim
Dalam haul purwa Abah Yusuf Afandy, seluruh hadirin-hadirat sibuk mendoakan beliau sembari berkelebatan ingatan kiprah Abah Yusuf untuk JATMAN Jatim. Selepas rangkaian mau’izhah dari K. H. M. Ma’shum Maulani, M.Pd. dan K. H. A. Cholil Arphaphy, M.M., Grup Hadrah Al-Munsyidin melantunkan shalawat berirama syahdu hingga mahallul-qiyam. Bakda shalawatan, Habib Mushthofa bin Muhammad Alaydrus Tuban mulai mau’izhah dengan mengingatkan urgensitas ucapan salam sebagai wujud persaudaraan antar umat Islam sekaligus penghilang permusuhan. Habib Mushthofa menyapa satu persatu masyayikh yang hadir, wa bil khusus para auliya pengurus JATMAN. “JATMAN itu urusane thariqah. Thariqah itu urusane ati. Nek wes urusane ati gak maen-maen. Di NU asline sing paling penting JATMAN e soale noto ati. Nek atine wes apik gak mungkin gegeran rebutan kursi. Nggawe kursi maneh lak isok se, gampang,” ungkap anggota Mustasyar PCNU Tuban ini.
Habib yang asli Surabaya dan zuwaj (nikah) dengan bidadari Tuban ini juga memotivasi seluruh hadirin dengan ajakan untuk mendalami dzikir karena dzikir adalah afdhalul-a’mal kata Kanjeng Nabi, “Tidak berdzikir sedetik saja itu masalah pada kewaliannya. Para Wali berdzikir dalam setiap nafasnya. Melihat apa saja, lisannya mengucapkan Allah, Allah, Allah. Shalawat juga dzikir, karena dalam shalawat kita menyebut nama Allah.”
Habib yang merupakan alumni PP. Dalwa Bangil ini lantas mencuplik hadits, “Tidak beriman dengan sempurna salah seorang diantara kalian sampai berdzikir dalam keadaan menangis,” kemudian mengatakan, “Kalau ada orang ngaku ikut JATMAN tapi tidak bisa menangis dalam dzikir, berarti matanya bermasalah. Orang thariqah itu mudah menangis. Menangis itu tanda kebaikan dan hatinya lembut. Jangankan melihat orang meninggal, melihat ayam tewas tertabrak saja menangis, yang diingat adalah sakitnya meregang nyawa. Orang thariqah itu bersih.”
Lanjutan hadits, “Tidak beriman dengan sempurna salah seorang diantara kalian sampai bershalawat dan salam kepadaku dalam keadaan menangis.” Menurut Habib yang menjadi sahabat Gus Baha ini bahwa menangis dalam dzikir dan shalawat yang dimaksud adalah menangis karena khauf dan raja` yakni takut dan berharap kepada Allah.
Sedikit plot twist, Habib yang njawani ini menceritakan beberapa kejadian naza’ yang susah menjadi gampang dengan bacaan burdah, dengan mengembalikan tanah waqaf yang diserobot, dengan meminta maaf orang tua yang masih hidup, dan dengan membalurkan tanah makam orang tua yang sudah wafat. Beliau menghikayatkan, dulu, pengarang burdah, awalnya mengalami stroke, berinisiatif menulis sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah karena teramat sangat mencintai beliau, hingga suatu malam beliau bermimpi diusap oleh Rasulullah dengan burdah (selendang), begitu bangun tidur, auto sembuh. “Jadi obatnya stroke itu cinta!” pungkas beliau.
Habib Mushthofa teringat kisah Sayyid ‘Alwiyy Al-Malikiyy Al-Makkiyy saat di Palestina, di situ ada kumpulan orang baca maulid. Diba’, Barzanjiyy, Habsyiyy itu sama saja, beda pengarang saja. Ga usah bilang ini baik itu jelek. Siapa suka menjelek-jelekkan berarti dirinya jelek dan sebaliknya. Di majelis tersebut, ada satu orang berdiri terus sepanjang maulid. Ditanya oleh Sayyid ‘Alwiyy mengenai alasan berdirinya orang tersebut, dijawab, “Aku dulu membenci maulid. Suatu malam, dalam tidur saya mimpi berada di suatu ruangan bersama tetangga-tetangga, Nabi datang memegang tangan mereka untuk berdiri, begitu giliran saya, Nabi bilang, “Duduk! Kamu tidak usah bangun!” begitu bangun, aku tidak bisa berdiri. Aku pergi ke dokter manapun tidak ada obatnya. Aku datang ke seorang syaikh thariqah, beliau bilang, “Berdirilah untuk Allah dan bertaubatlah! Tidak ada obat bagimu kecuali mencintai Nabimu.” Akhirnya aku merutinkan shalawat kepada Nabi sampai aku tertidur hingga bermimpi yang sama, namun kali ini justru Nabi memegang tanganku dan mempersilakanku berdiri. Begitu bangun, aku sudah bisa berdiri lagi.
Sebelum menyudahi, Habib Mushthofa merangkum sendiri mau’izhah: (1) menangis untuk Allah karena khauf dan raja`; (2) menangis untuk Nabi karena mahabbah; (3) hati-hati dengan orang tua. “Siapa yang taat orang tua, tidak akan terkena kefaqiran. Kalau banyak utang, sungkem kepada orang tua. Kalau orang tua juga punya banyak utang, mungkin orang tua kita tidak taat kepada orang tuanya. Meski begitu tetap kita taat kepada orang tua kita. Itu urusan orang tua kita dengan orang tua beliau sendiri,” simpul Habib beriring doa untuk keluarga besar PP. Darul Hikmah Gumantuk, Maduran, Lamongan, Jawa Timur.
Berangsur, seluruh masyayikh turun panggung dibersamai para pasukan Banser menuju ruang hidangan untuk beramah tamah dengan para santri dan alumni, kemudian para jama’ah hadirin-hadirat pun meninggalkan tempat sembari menggamit berkat masing-masing. Nampak beberapa ulama dari PP. Langitan, PP. Siman, dan lainnya berpartisipasi menghadiri haul perdana muassis PP. Darul Hikmah ini. Tim Darul Hikmah Media mengakhiri live streaming.
Acara haul boleh diakhiri, namun memori indah bersama Al-Maghfur Lah K. H. Moch. Yusuf Afandy, S.Sos. tak pernah dapat dihapus walau seujung jari. Nostalgia penulis sejak 2016 hingga 2024 menyertai Abah mengkhidmahi JATMAN Jatim tak pernah pudar. “Sesibuk apapun, JATMAN tidak boleh ditinggal, Ji!” seakan-akan kedua daun telinga penulis baru saja mendengar kata-kata Abah. Abah selalu mempromosikan penulis kepada para masyayikh JATMAN Jatim, “Ini mantu saya, ahli jurnalistik, sudah membuat website, majalah, kalender, buku, nota, ini, itu, untuk JATMAN Jatim.” Begitulah Abah, semua orang diangkat, dihormati, ditolong, dimotivasi, ditampung. Kenangan itulah yang melekat di sanubari semua orang yang pernah bertemu Abah, hatta koruptor dan korban pemerkosaan.
Redaktur: H. Brilly Y. Will., M.Pd.

Post a Comment